RadenAdjeng Kartini atau lebih sering dikenal dengan nama R. A. Kartini merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita pribumi kala itu. Wanita yang lahir di Jepara, 21 April 1879 ini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa. Ia putri dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan KONTRADIKSI. Kehidupan Kartini yang penuh kontradiksi. Foto oleh Dodo Karundeng/ANTARA Jakarta, IDN Times – Sosok Raden Ajeng Kartini atau Kartini dikenal sebagai pahlawan hak kaum perempuan di Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangannya di masa lampau, tanggal kelahiran Kartini pun diperingati sebagai hari pahlawan yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada 2 Mei 1964, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Keppres No. 108 Tahun beberapa hal tentang Kartini yang penting untuk diketahui lebih lanjut. Yuk, simak. Baca Juga Made Citra Dewi Jadi Anggota TNI Itu Berat, tapi Indah 1. Kartini mahir berbahasa BelandaMuseum RA Kartini di Jalan Alun-alun Jepara, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Yusuf NugrohoFakta menarik pertama Kartini adalah, beliau mahir berbahasa Belanda. Sebagai seorang anak bangsawan Jawa, Kartini mendapatkan pendidikan yang cukup. Dari pendidikan itu, Kartini memperoleh kesempatan untuk mempelajari Bahasa Belanda. Kemampuannya berbahasa Belanda itulah yang membuat ia memiliki akses untuk berkomunikasi dengan berbagai elemen pemerintahan Belanda masa ia mampu menuliskan permohonan beasiswa pendidikan kepada Pemerintah Belanda saat berusia 20 tahun. Permohonan itu sempat disetujui. Hanya saja, kala itu Kartini sudah menikah sehingga beasiswa pun diberikan kepada orang hanya itu, Kartini juga sempat menuliskan surat protes kepada pemerintahan Hindia Belanda. Dalam suratnya, Kartini meminta pemerintah Hindia Belanda untuk memasukkan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda dalam kurikulum pendidikan kaum merangkai kata-kata dalam Bahasa Belanda itulah, salah satu hal yang dikagumi banyak sahabat dari kalangan bangsa Belanda. 2. Jago masak dan sempat menulis resep masakan dalam aksara JawaMuseum RA Kartini di Jalan Alun-alun Jepara, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Yusuf NugrohoSelain membaca dan menulis, hobi Kartini yang cukup dikuasainya ialah memasak. Ia mampu memasak beragam masakan, khususnya masakan khas Jawa. Kartini sempat mengumpulkan dan menuliskan resep-resep masakannya. Resep-resep itu ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Penulisan resep dengan aksara Jawa tersebut menunjukkan Kartini masih menguasai tradisi budaya Kartini menggunakan kemahiran memasaknya sebagai sarana diplomasi kebudayaan dengan pemerintahan Hindia Belanda kala itu. Melalui masakannya, Kartini berhasil mengenalkan budaya Jawa kepada bangsa Belanda sehingga mereka menghormati kebudayaan itu kemudian ditulis kembali oleh Suryatini N. Ganie, cicit Kartini, dalam buku berjudul “Kisah & Kumpulan Resep Putri Jepara; Rahasia Kuliner Kartini, Kardinah, dan Roekmini.” 3. Nama Kartini dijadikan nama jalan di BelandaKONTRADIKSI. Kehidupan Kartini yang penuh kontradiksi. Foto oleh Dodo Karundeng/ANTARASeorang Kartini tidak hanya dicintai dan dihormati di Indonesia. Ia juga dihormati di Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya nama jalan Kartini di Belanda, yakni di Kota Utrecht, Venlo, Amsterdam, dan Utrecht, Jalan Kartini terletak di kawasan deretan perumahan yang tertata apik. Jalan tersebut dihuni oleh kalangan menengah. Jalan utamanya berbentuk huruf U’ yang ukurannya lebih besar dibandingkan jalan-jalan yang menggunakan nama-nama tokoh Eropa Venlo, nama jalan RA Kartinistraat terletak di kawasan Hagerhof. Bentuk jalannya berupa huruf O’ di mana di sekitarnya juga terdapat nama jalan dari tokoh Anne Frank dan Mathilde di Ibukota Belanda, yakni Amsterdam, jalan Raden Adjeng Kartini ada di daerah Zuidoost atau dikenal dengan Bijlmer. Di sekitar jalan tersebut, terdapat nama-nama jalan dari tokoh-tokoh ternama yang berkontribusi kepada sejarah dunia, seperti Jalan Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, dan Isabella menarik, ialah di Haarlem. Nama jalan Kartini berdampingan dengan nama jalan dari tokoh-tokoh perjuangan Indonesia. Jalan Kartini berdekatan dengan Jalan Mohammed Hatta, Jalan Sutan Sjahrir, dan langsung tembus ke Jalan Chris Soumokil, Presiden Kedua Republik Maluku Selatan RMS.4. Menjadi seorang juru dakwah IslamMurid TK dan SD berpawai mengenakan busana tradisional untuk menyambut Hari Kartini, Bulak Banteng, Surabaya. ANTARA FOTO/Didik SuhartonoSiapa yang menyangka, Kartini juga dikenal sebagai juru dakwah agama Islam. Ia belajar menekuni ajaran agama Islam dari Kyai Sholeh bin Umar, seorang ulama dari Darat, mulai menekuni ajaran Islam secara mendalam ketika Kyai Sholeh berceramah mengenai tafsir Surat Al-Fatihah. Dari penjelasan Kyai Sholeh tentang makna ayat Al-Fatihah tersebut, Kartini semakin tertarik mendalami Al Qur’an. Bahkan, ia pun ikut berdakwah dan menunjukkan wajah Islam yang ramah kepada bangsa Belanda. Kartini, melalui surat-suratnya kepada koleganya di Belanda, selalu menjelaskan ajaran dan menunjukkan sisi keindahan Islam. Pertemuan Kartini dengan Kyai Sholeh dapat dikatakan sebagai bagian perjalanan spiritual penting dalam Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” menuai kontroversiSumber Gambar Gelap Terbitlah Terang” merupakan salah satu buku yang cukup identik dengan Kartini. Buku tersebut merupakan kumpulan 53 surat Kartini yang ditujukan kepada sahabat orang Belanda, Rosa tersebut kemudian dikumpulkan oleh Abdendanon. Total ada 150 surat yang berhasil dikumpulkan Abdendanon. Namun, tidak semua surat tersebut ditampilkan dalam buku yang dalam Bahasa Belanda berjudul “Door Duisternis tot Licht” buku tersebut, banyak pemikiran Kartini yang mengkritik kondisi sosial yang ditemui di sekitar, khususnya terhadap posisi perempuan dalam struktur sosial masyarakat kala buku itu sempat diragukan kebenarannya oleh para sejarawan. Sebab, tidak ada bukti bahwa seluruh surat yang ada di dalam buku tersebut adalah tulisan Kartini. 6. Cerita Kartini diangkat ke layar lebar oleh Hanung tahun 2017, Kartini diangkat menjadi film layar lebar dengan judul Kartini oleh sutradara kondang Hanung Bramantyo. Sosok Kartini sendiri diperankan oleh Dian ini bukan kali pertama film layar lebar mengangkat tokoh besar tersebut. Sebelumnya pada tahun 1984, Sjumandjaya telah menghasilkan film biografi dengan judul Kartini. Kemudian pada tahun 2016, sebuah film fiksi kisah asmara berjudul Surat Cinta Untuk Kartini juga Orang tua memaksa Kartini menikah mudaLomba peragaan busana daerah kategori PAUD dan TK, Bogor, untuk menyambut Hari Kartini. ANTARA FOTO/Arif FirmansyahOrang tua Kartini meminta ia untuk menikah dengan Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang yang sudah pernah memiliki tiga orang istri. Ia menikah pada 12 November 1903. Beruntungnya, sang suami mengerti keinginan Kartini sehingga diberi kebebasan dan didukung secara penuh untuk mendirikan Sekolah Wanita yang terletak di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten usia yang ke-25, Kartini melahirkan seorang putera yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat, tepatnya pada 13 September 1904. Empat hari setelah melahirkan, Kartini harus berpulang. Konon, nama Soesalit merupakan singkatan kata-kata dalam Bahasa Jawa “susah naliko alit” yang berarti susah di waktu kecil karena tidak pernah mengenal sang ibu. Baca Juga Peringati Hari Kartini, Banyuwangi Akan Gelar Women Cycling Challenge
Indonesia RADEN AJENG KARTINI BAB I PENDAHULUAN Kartini adalah pejuang kaum wanita yang berjasa memperjuangkan kaumnya. Ia berjuang membuat derajat wanita setara dengan kaum laki-laki. Dia juga memberantas kebodohan dan memajukan kaumnya. Kartini juga ingin memperoleh kebebasan. Ia sosok wanita yang berani. Dia juga senang berteman.
Ibu Kartini merupakan salah satu wanita Indonesia yang menjunjung tinggi emansipasi wanita. Ia merupakan pelopor hak wanita untuk dapat memiliki pendidikan yang layak dan setara dengan lainnya. Di hidupnya yang singkat ibu Kartini mampu membuat perubahan yang besar sehingga cerita dongeng ibu Kartini dijelaskan dari generasi ke generasi. Asal Usul Kelahiran Kartini Ibu Kartini memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kartini. Ia lahir di Jepara, salah satu kota di Jawa Tengah pada 21 April 1879. Kartini lahir dalam keluarga mapan dan ningrat. Ibunya bernama Ngasirah dan ayahnya adalah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ia memiliki 11 saudara tiri dan kandung yang mana Kartini merupakan anak perempuan tertua di keluarganya. Ayah Kartini merupakan keturunan bupati Jepara sementara ibunya hanya dari kalangan rakyat biasa. Ngasirah merupakan guru agama di Teluk Awur, Jepara. Anak dari Kyai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah. Sementara ayah Kartini yakni Adipati Ario Sosroningrat merupakan keturunan Hamengkubuwono VI yang kala itu masih menjabat sebagai pembantu bupati atau Wedana. Ibu dari Kartini merupakan istri pertama namun bukan istri utama ayahnya. Hal ini disebabkan adanya aturan dari pemerintah Belanda bahwa kalangan bangsawan tak bisa menikahi rakyat biasa. Alhasil ayah Kartini kemudian menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yakni putri raja Madura. Istri kedua ayahnya kemudian diangkat menjadi istri utama dan barulah ayah Kartini bisa menjabat menjadi bupati Jepara. Pelantikan ayahnya bertepatan dengan kelahirannya Kartini. Kartini merupakan anak kelima dan pendidikan di keluarganya dianggap sangat penting. Kakek Kartini yakni pangeran Ario Tjondronegoro IV dikenal sebagai bupati pertama yang mg mengenalkan pendidikan barat kepada anak-anaknya. Kisah Perjuangan Kartini Cerita dongeng pahlawan Kartini sangat direkomendasikan sebagai dongeng anak sebelum tidur. Perjuangan RA Kartini dalam emansipasi wanita terlihat sejak ia berusia 12 tahun. Walau pendidikan dijunjung tinggi dalam keluarganya namun saat usia tersebut ayah Kartini melarangnya untuk melanjutkan sekolah. Sebelumnya kartini bersekolah di Europese Lagere School ELS dimana ia juga diajarkan berbahasa Belanda. Kartini bahkan dikenal sebagai murid yang cerdas. Ia bahkan sering berkirim surat kepada teman-temannya di Belanda. Tulisannya pernah dimuat dalam sebuah majalah bernama De hollandsche Lelie. Dari teman korespondensinya Rosa Abendanon dan Estelle “Stella” Zeehandelaar , Kartini mendapatkan majalah, surat kabar bahkan buku. Ia mulai tertarik dengan cara berpikir wanita Eropa yang bebas dan lebih maju ketimbang wanita pribumi. Kartini pun merasa tergerak untuk memajukan pendidikan para perempuan pribumi. Sayangnya ayahnya malah melarang kartini untuk melanjutkan pendidikannya. Ia diminta untuk tinggal di rumah dan dipingit mengikuti tradisi Jawa kala itu. Walaupun dipingit kartini tak lantas berdiam diri. Untuk mengisi waktunya ia lebih sering berkirim surat. Kebanyakan isi surat kartini berupa buah pemikirannya tentang kesulitan wanita pribumi untuk maju karena terhalang tradisi. Ia mengkritisi tradisi dipingit yang mana mengekang kebebasan perempuan. Ia menuntut kesetaraan baik dalam kehidupan maupun dimata hukum. Ia juga mengangkat isu agama seperti poligami. Tak jarang ia mempertanyakan alasan kenapa kitab suci harus dihafalkan. Semakin dewasa pemikiran Kartini akan emansipasi wanita semakin kuat. Apalagi ia sering membaca buku-buku asing seperti karya Van Eeden, Louise Coperus atau Augusta de Witt. Ia pun mulai memiliki keinginan yang kuat untuk melanjutkan sekolah ke Jakarta maupun Belanda. Menurutnya fasilitas yang dimiliki keluarganya tidak mampu lagi menunjang pendidikannya. Sayangnya untuk kesekian kali orang tuanya melarangnya pergi. Padahal Kartini sudah mendapatkan beasiswa di Belanda yang akhirnya dilepaskannya. Biarpun begitu orang tuanya mengizinkan Kartini berprofesi sebagai seorang guru. Ia pun mengajar wanita pribumi di belakang pendopo kabupaten Jepara. Kartini mengajarkan bagaimana membaca, menulis, memasak hingga kepribadian. Tak jarang Kartini mengundang pengukir untuk membuat kerajinan atas desain yang dibuatnya. Hingga saat ini pendopo Kartini masih berdiri megah dan terjaga orisinilitasnya. Perjuangan Kartini Dimulai Dari Keluarga Walaupun diizinkan mengajar para wanita pribumi pemikiran Kartini sering ditentang keluarganya. Ia bahkan pernah bertengkar dengan kakak-kakaknya karena tidak mau ikut tradisi. Selain cerdas Kartini dikenal sebagai sosok yang pemberontak. Kartini menjadi sosok yang sensitif usai memahami kedudukan ibunya. Kartini menyaksikan sendiri bagaimana perlakukan istri ayahnya berbeda walau sama-sama menjadi pasangan. Ngasirah biasanya bertugas di belakang sebagai kepala urusan rumah tangga. Sementara istri kedua ayahnya yakni Moerjam akan sering mendampingi ayahnya melayani tamu dan bersosialisasi ke luar. Ditambah lagi banyaknya buku liberalisme mengubah pola pikir Kartini saat itu. Ia pernah bertengkar dengan kakaknya Soelastri yang masih sangat konservatif. Hubungan keduanya bahkan pernah merenggang. Tak kapok menyuarakan pendapatnya Kartini bahkan pernah berkali-kali berseteru dengan Slamet yang merupakan kakak laki-laki tertuanya. Saat itu Kartini menolak untuk berjalan jongkok dan menunduk saat bertemu dengan saudaranya yang berusia jauh lebih tua. Biarpun begitu tak seluruh saudaranya menentang Kartini. Ada kakak kandung Kartini yakni RM Panji Sosrokartono atau sering dipanggilnya Kartono. Ia yang menginspirasi Kartini untuk memperjuangkan hak-hak wanita. Kartono bahkan berprofesi sebagai dokter dan menguasai 24 bahasa asing. Ada pula adik perempuannya yakni Roekmini dan Kardinah yang sepemikiran dengan Kartini. Keduanya bahkan membantu Kartini membangun sekolah gadis pertama di Jepara. Ketiganya juga sering menghabiskan waktu bersama dengan belajar membatik dari RA Moerjam. Karya batiknya bahkan pernah dipamerkan pada pameran karya wanita yakni Nationale Tentoonstelling Voor Vrouwenarbeid di Den Haag pada 1898. Kartini Menikah Saat Berusia 24 Tahun Kartini pernah berucap kepada Marie Ovink Soer yang merupakan istri asisten residen Jepara bahwa ia tidak akan menikah. Kala itu usianya sudah memasuki usia 16 tahun. Lamanya pingitan Kartini bahkan melebihi saudaranya yang lain. Enam tahun dipingit Kartini merasa tinggal di neraka. Ia berulang kali menolak lamaran yang datang kepadanya. Pada 2 Mei 1988 masa pingitan Kartini usai. Ia pun kemudian menulis karangan berjudul Het Huwelijk Bij de Kodjas atau Upacara perkawinan Suku Koja. tulisannya ini langsung diterbitkan usai menjalani pingitan. Ketika usianya menginjak 24 tahun orang tuanya meminta Kartini untuk segera menikah. Ia pun kemudian menyetujui pinangan Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Ia merupakan bupati Rembang yang memiliki 3 istri. Akhirnya keduanya menikah pada 12 November 1903. Walau sudah menikah Kartini tetap mengajar sebagai guru yang juga didukung oleh suaminya. Ia kemudian membuka sekolah di sebelah timur kompleks kantor kabupaten Rembang. Setahun menikah Kartini kemudian dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Anak laki-lakinya lahir pada 13 september 1904. Empat hari setelah melahirkan Kartini meninggal dunia pada 17 september 1904. Usianya masih 25 tahun dan dikebumikan di desa Bulu, kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Buku yang Pernah Ditulisnya Buah pemikirannya kini bisa pula dibaca dalam bentuk buku. Salah satu bukunya yang paling terkenal adalah “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini terbit pada 1911 yang merupakan kumpulan surat-surat Kartini. Jacques Henrij Abendanon atau Abendanon merupakan menteri kebudayaan, agama dan kerajinan Belanda pada tahun 1900-1905. Saat kepemimpinannya banyak berdiri sekolah untuk orang pribumi. Ia mengumpulkan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya yang tinggal di Eropa. Buku ini juga dialihbahasakan ke beberapa bahasa seperti Melayu, Jawa hingga Sunda. Dalam satu bukunya tersebut terdapat 87 surat Kartini. Surat-surat ini lalu dibagi kedalam 5 bab yang menunjukkan perubahan pola pikir Kartini selama berkorespondensi. Memang tidak semua surat Kartini dimuat seluruhnya pada versi terbarunya karena isinya rata-rata memiliki kemiripan. Sementara buku versi lamanya memuat 106 surat. Selain surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada sahabatnya, ia juga banyak menulis opini pada majalah dan surat kabar Belanda. Misalnya saja tulisan “Tiga Soedara” pada surat kabar De Locomotief. Surat kabar ini merupakan yang terbesar di Hindia Belanda kala itu. Dari sinilah nama Kartini semakin dikenal publik. Ia bahkan pernah menuliskan pemikirannya dalam 19 halaman kertas kepada Willem Frederik idenburg dan Gubernur Jenderal Willem Rooseboom pada 1903. Di setiap tulisannya Kartini selalu menitikberatkan pentingnya pendidikan bagi wanita tak peduli golongan priyayi atau pribumi. Pelajaran Berharga Dari Kisahnya Kisah hidup Kartini bisa dijadikan dongeng anak yang mampu memberikan banyak pesan moral pada buah hati. Dari dongeng anak Indonesia ini buah hati bisa memahami bahwa pendidikan amatlah penting dimiliki oleh siapa saja, dari kalangan manapun tanpa dibatasi gender. Dari kisah hidupnya ada pesan yang disampaikan Kartini kepada wanita Indonesia. Wanita tidak boleh dipandang rendah dan berhak diperlakukan sama dengan para laki-laki. Ia berhak mendapatkan pendidikan dan kebebasan atas pilihan dan hidupnya. Setiap orang juga berhak untuk bermimpi dan meraih cita-citanya termasuk para perempuan. Bila tidak ada mimpi bagaimana kehidupanmu kelak? Seorang wanita juga perlu mendidik budi pekertinya karena yang bisa menjatuhkan Anda bisa saja dari sikap Anda sendiri Jangan mudah mengeluh dalam hidup tapi berjuanglah untuk merubahnya agar kebahagian bisa datang kepada Anda Kepribadian Kartini yang Patut Dicontoh Selain itu ada beberapa kepribadian RA Kartini yang bisa jadi contoh untuk wanita masa kini. Sosok Kartini dikenal memiliki kepribadian sebagai berikut 1. Berani Kartini berani mendongkrak aturan tradisi yang sudah kental tertanam di benak masyarakat saat itu. Bukanlah hal yang mudah mengubah mindset seseorang apalagi bila ia tergolong pribadi yang konservatif 2. Rela Berkorban Berasal dari keluarga ningrat yang berkecukupan tentu RA Kartini bisa lepas tangan begitu saja atas masalah hak wanita pribumi. Walaupun begitu RA Kartini mengabdikan dirinya berjuang untuk pendidikan wanita bahkan saat ia sudah berstatus sebagai istri. 3. Optimis Kartini selain cerdas juga dikenal sebagai sosok yang selalu optimis. Meski tulisannya pernah ditolak karena tidak sesuai dengan tradisi namun ia pantang untuk menyerah. Ia selalu aktif menyuarakan hak-hak wanita. Cerita dongeng ibu Kartini juga pernah diangkat dalam sebuah film. Kisah hidupnya dibahas pula dalam buku pelajaran dan dikenang dalam lagu “Ibu Kita Kartini”. Walau sudah lebih dari seabad lamanya Kartini meninggal dunia namun suaranya tetap abadi lewat jasa dan tulisannya. Baca Juga Mengenal Lebih Dekat Poklamator Indonesia Visited 4,916 times, 1 visits today RadenAdjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Jakarta - Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April. Hari besar nasional ini kerap menjadi momentum bagi siswa di sekolah maupun lingkungan rumah untuk mengenal kembali sejarah singkat dan perjuangan RA Ajeng Kartini dikenal dengan surat-surat kirimannya tentang emansipasi perempuan dan semangat maju dengan pendidikan. Berikut lahir pada 21 April 1879 atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 di Mayong afdeling Japara kini Jepara. RA Kartini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa di Jepara. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah bupati di Kartini masuk sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School ELS pada 1885. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan bersama anak-anak bangsa Eropa dan Belanda-Indo di ELS hanya anak pejabat tinggi dari kalangan bangsawan, anak perempuan masuk sekolah dan keluar rumah merupakan langkah yang bertentangan dengan tradisi saat itu, seperti dikutip dari Pendidikan Feminis Kartini oleh Irma Nailul di ELS, Kartini belajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kemampuan bahasanya makin kuat karena rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda. Kartini juga belajar bercakap dengan bahasa Belanda sambil bermain dan menerima tamu bangsa Belanda yang datang ke pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda. Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa mendapat perlakuan diskriminatif dari siswa dan guru dari Belanda, Kartini justru semangat memperoleh pengetahuan lebih banyak dan berprestasi. Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini, ia menceritakan dirinya tengah belajar pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai pada temannya, Nyonya Nelly Van Kol."Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan, memerdekakan diri."Namun setelah lulus ELS, Kartini dilarang ayahnya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Saat itu, tradisi bangsawan mewajibkan anak usia 12 tahun yang sudah dianggap dewasa untuk dipingit. Saat dipingit, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, termasuk ke sekolah, karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah itu, Kartini juga tidak mendapat izin untuk lanjut sekolah di Belanda seperti tawaran orangtua Letsy, temannya. Ia lalu dipaksa belajar aturan putri bangsawan, seperti berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua yang dipingit mengesampingkan kekecewaannya tidak lanjut sekolah dengan membaca dan mencatat. Sejumlah catatannya termasuk pandangan hidup yang bisa dicontoh, jiwa dan pemikiran besar, dan perilaku yang juga berkirim surat pada sahabatnya untuk mempelajari pemikiran baru dan menyampaikan keinginannya tentang dunia pendidikan di daerahnya. Terjemahan surat-surat Kartini kelak membuka bahwa dirinya punya berbagai gagasan untuk mengangkat derajat kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pun menikah pada 8 November 1903 dengan Bupati Rembang. Kesehatannya melemah setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903, Kartini wafat dalam usia 25 tak melanjutkan pendidikan seperti harapan semula, sebelum wafat, Kartini mencoba berbagai langkah agar dirinya dan perempuan di sekitar bisa maju dengan perjuangan Kartini untuk pendidikan>>>

InilahCerita 3 Kelakuan Usil Kartini yang Bikin Ayah Murka Raden Ajeng Kartini memang tinggal di kalangan keluarga ningrat Jawa. Ayahnya yang seorang Bupati Jepara membuat Kartini dituntut untuk tidak sembarangan dalam bersikap. Namun Kartini kecil tidak seperti yang selalu diharapkan keluarganya. Kartini selalu memberontak dari tatanan adat Jawa yang sangat diemban keluarga.

- Hari Kartini diperingati setiap 21 April. Peringatan tersebut berawal dari adanya Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei Kepres di masa Presiden Soekarno itulah Raden Ajeng RA Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Peringatan 21 April sebagai Hari Kartini lantaran sesuai dengan hari lahir Kartini. Baca juga Mengenang Sosok Bung Hatta, dari Sepatu Bally hingga Tak Mau Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Lantas, siapakah Raden Ajeng RA Kartini? Kartini diketahui lahir di Jepara pada 21 April 1879. Melansir 21 April 2020, Kartini adalah putri tertua keturunan keluarga ningrat Jawa atau istilahnya keluarga priyayi atau bangsawan. Ayahnya merupakan Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Sosriningrat. Sementara itu Ibu bernama Ngasirah yaitu putri anak dari seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Tidak hanya pesohor di kala itu, keluarga Kartini dikenal cerdas. Baca juga 21 Pahlawan Transportasi Dunia 2021, Termasuk Anies Baswedan Sang kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV adalah sosok cerdas yang diangkat menjadi bupati di usia 25 tahun. Emansipasi wanita mulai menggema di Indonesia atas jasa Kartini. Dia menjadi tokoh yang aktif memperjuangkan kesetaraan hak perempuan. Sebagai perempuan Jawa, dia sangat merasakan ketimpangan sosial antara perempuan dan laki-laki kala itu. Baca juga Mengenang Pertempuran Surabaya, Cikal Bakal Peringatan Hari Pahlawan Persamaan derajat Wikipedia Sekolah Kartini yang didirikan tahun 1913. Budaya turun-temurun menormalisasi seorang perempuan hanya pasif menjalani alur kehidupan. Kartini ingin membuktikan bahwa perempuan pun bisa menggantikan peran laki-laki. Berkaca dari hal tersebut, Kartini begitu mengidamkan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. "Kartini ingin menunjukkan jika perempuan tidak hanya 'konco wingking', artinya perempuan bisa berperan lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang pendidikan. Perempuan juga bisa menentukan pilihan hidup tak harus atas paksaan orangtua dan perempuan juga bisa sekolah setinggi-tingginya," kata Pengamat Sejarah Edy Tegoeh Joelijanto 50 yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Jogjakarta dan Universitas Putra Bangsa Surabaya. Baca juga Kisah Pengambilan Jasad 7 Pahlawan Revolusi di Sumur Lubang Buaya Pada zaman itu perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan. Hanya perempuan bangsawan yang berhak memperoleh pendidikan. Tapi Kartini beruntung. Melansir 13 Desember 2019, Kartini memperoleh pendidikan di ELS Europes Lagere School. Baca juga Sepak Terjang Ruhana Kuddus, Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2019Sekolah tersebut termasuk sekolah yang bergengsi pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Biasanya sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa, timur asing, atau pribumi dari tokoh terkemuka. Kartini menyukai kegiatannya belajar bahasa Belanda yang menjadi bahasa komunikasi wajib bagi murid-murid ELS. Namun, Kartini hanya bisa memperoleh pendidikan hingga berusia 12 tahun. Karena menurut tradisi Jawa, anak perempuan harus tinggal di rumah sejak usia 12 tahun hingga menikah. Baca juga Deretan Perayaan Unik di Hari Pahlawan Model emansipasi ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL Paramedis Covid-19 perempuan Rumata Mestika 37 menyampaikan ucapan Selamat Hari Kartini untuk para pejuang medis di garda terdepan di Rumah Sakit Primaya Hospital, Tangerang, Banten, Selasa 21/4/2020. Aksi tersebut merupakan bukti kepedulian dalam memberikan semangat untuk paramedis yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19 di Indonesia dan berharapa adanya 'Habis Gelap Terbitlah Terang'. Kartini punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan karena ingin mendapatkan hak yang sederajat dengan pria dalam hal pendidikan. Tapi keinginan untuk sekolah lebih tinggi harus terkubur, karena Kartini harus menikah dengan seorang bangsawan Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 1903. Meski demikian, Kartini tak mau mengurung diri, ia justru memanfaatkan kesempatan itu memilih belajar sendiri, membaca, dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon. Baca juga Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Bagaimana Prosedurnya? Kartini juga tetap berjuang memperhatikan kaumnya. Kartini menuang pemikirannya lewat tulisan yang dimuat oleh majalah perempuan d Belanda bernama De Hoandsche Lelie. Dilansir dari Encyclopaedia Britannica 2015, dalam surat yang ditulisnya, Kartini menyatakan keprihatinannya atas nasib-nasib orang Indonesia di bawah kondisi pemerintahan kolonial. Ini juga untuk peran-peran terbatas bagi perempuan Indonesia. Bahkan, dia menjadikan hidupannya sebagai model emansipasi. Baca juga Keliling Kota Pahlawan Gratis, Coba Surabaya Heritage Track, Ini Jadwalnya Tulisan Kartini ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL Sejumlah paramedis Covid-19 perempuan menyampaikan ucapan Selamat Hari Kartini untuk para pejuang medis di garda terdepan di Rumah Sakit Primaya Hospital, Tangerang, Banten, Selasa 21/4/2020. Aksi tersebut merupakan bukti kepedulian dalam memberikan semangat untuk paramedis yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19 di Indonesia dan berharapa adanya 'Habis Gelap Terbitlah Terang'. Tulisan-tulisannya itu dibukukan di kemudian hari lalu diberi judul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan menuju Cahaya. Pada 1922, tulisan itu diterbitkan menjadi buku kumpulan surat Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang Boeh Pikiran, oleh Balai Pustaka. Suaminya memberi kebebasan dan mendukungnya mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Berkat kegigihannya, Kartini mendirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini Sekolah Kartini di Semarang pada 1912. Baca juga Video Viral Foto Pahlawan di Uang Kertas Dibuat Parodi, Ini Kata BI Kini, Gedung tersebut disebut sebagai Gedung Pramuka. Kemudian sekolah juga didirikan di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. RA Kartini meninggal pada 17 September 1904 di usia 25 tahun setelah beberapa hari melahirkan. Kartini dimakamkan di Desa Bulu Kabupaten Rembang. Baca juga Tak Sembarangan, Ini Syarat Seseorang Bisa Dimakamkan di TMP Kalibata Sumber Dwi Putranto Nugroho, Ari Welianto Editor Dony Aprian, Nibras Nada Nailufar Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Ilustrasiaksara jawa. Foto: dok. SOLO, Cerita rakyat Jawa Tengah asal usul aksara Jawa akan menjelaskan awal mula bagaimana aksara Jawa berkembang di Jawa Tengah. Aksara Jawa bahkan sampai sekarang masih dipakai dalam kehidupan rakyat Jawa Tengah. Seperti yang kita ketahui Akasara Jawa merupakan suatu abjad atau huruf yang
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID aPr-3xnwcv1De3pmf63ZcaWYvJO5lIGvf-zY0WwihVGSz5lD1q_PrQ== Pada21 April kini diperingati sebagai Hari Kartini. Di tanggal inilah Kartini dilahirkan pada 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Beragam kegiatan biasanya dilakukan untuk memperingati kelahirannya, dan memaknai kembali apa yang sudah diperjuangkan oleh Kartini selama ini, yakni upaya untuk memperjuangkan hak-hak wanita yang seharusnya bisa didapatkan.
Raden Ajeng KartiniRaden Ajeng Kartini 1879-1904 is credited with starting the move for women's emancipation in Java, an island then controlled by Holland as part of the Netherlands Indies now Indonesia. Born to the aristocracy, Kartini was privileged to be able to attend Dutch colonial schools, but was forced to quit at an early age due to Islamic law at the time. At the age of 24, she was married to a man twice her age who already had three wives. Kartini wrote letters to her friends in Holland protesting the treatment of women in Java, the practice of polygamy, and of the Dutch suppression of the island's native population. Decades later, the Indonesian state constitution promised gender equality to all its citizens, and Kartini Day continues to be celebrated on April 21 to commemorate Kartini's contribution to women's was born on April 21, 1879, in Mayong village near of Jepara, a town located in the center of the island of Java. She was born into the Javanese priyayi, or aristocracy; her father was Jepara mayor Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini was one of 12 children born to Raden's several at Dutch SchoolsAs a child, Kartini was very active, playing and climbing trees. She earned the nickname "little bird" because of her constant flitting around. A man of some modern attitudes, her father allowed her to attend Dutch elementary school along with her brothers. The Dutch had colonized Java and established schools open only to Europeans and to sons of wealthy Javanese. Due to the advantages of her birth and her intellectual inclination, Kartini became one of the first native women allowed to learn to read and write in her father's permission to allow her a primary education, by Islamic custom and a Javanese tradition known as pingit, all girls, including Kartini, were forced to leave school at age 12 and stay home to learn homemaking skills. At this point, Kartini would have to wait for a man to ask for her hand in marriage. Even her status among the upper class could not save her from this tradition of discrimination against women; marriage was expected of her. For Kartini, the only escape from this traditional mode of life was to become an independent Nationalist MovementFearful of losing control over their island territory, the Dutch colonialists believed that knowledge of European languages and education could a be dangerous tool in the hands of the native Javanese. Consequently, they suppressed the activities of the native people, keeping them as peasants and plantation laborers, while at the same time counting on the Javanese nobility to support them in their rule over the region. Only a few of the nobility, Kartini's father included, were taught the Dutch language. Kartini believed that once the Europeans introduced Western culture to the island, they had no right to limit the desire of native Javanese to learn more. Clearly, by the late nineteenth century there was talk of independence. With her letters and her egalitarian fervor, Kartini can be said to have started the modern Indonesian nationalist was not proud of being set apart from her countrymen as one of the privileged few of the aristocracy. In her writings she described two types of nobility, one of mind and one of deed. Simply being born from a noble line does not make one great; a person needs to do great deeds for humanity to be considered Letters to HollandFrom 1900 to 1904 Kartini stayed home from school in according to the dictates of Javanese tradition; she found an outlet for her beliefs in letters she wrote in Dutch and sent to her friends in Holland. Kartini was unique in that she was a woman who was able to write; what set her apart even further was her rebellious spirit and her determination to air concerns that no one, not even men, were publicly wrote to her European friends about many subjects, including the plight of the Javanese citizenry and the need to improve their lot through education and progress. She recounts how Javanese intellectuals were put in their place if they dared to speak Dutch or to protest. She also describes the restrictive world she lived in, rife with hierarchy and isolationism. In 1902 Kartini wrote to one letter, to Mrs. Ovink-Soer, that she hoped to continue her education in Holland so that she could prepare for a future in which she could make such education accessible to all is most known for writing letters in which she advocates the need to address women's rights and status, and to loosen the oppressive Islamic traditions that allowed discrimination against women. She protests against education restricted to males of the nobility, believing that all Javanese, male and female, rich and poor, have the right to be educated in order to choose their own destiny. Women especially are not allowed to realize their calling. As Nursyahbani Katjasungkana commented in the Jakarta Post, "Kartini knew and expounded the concept that women can make choices in any aspect of their lives, careers, and personal matters."Opened School for GirlsRather than remaining submissive and compliant, like a good Javanese daughter, the unconventional Kartini often had disagreements with her father, and it is believed that her family was, consequently, eager to marry her off. On November 8, 1903, she obeyed her father and married Raden Adipati Joyoadiningrat, the regent of Rembang. Joyoadiningrat was a wealthy man of age 50 who already had three wives and a dozen children. Kartini—who was, at 24 years of age, considered too old to marry well—found herself a victim of polygamy. She was devastated by the marriage, which ended her dream of studying abroad just as she was awarded a scholarship to study in the marriage, in 1903 Kartini was able to take a first step toward achieving women's equality by opening a school for girls. With aid from the Dutch government Kartini established the first primary school in Indonesia especially for native girls regardless of their social standing. The small school, which was located inside her father's house, taught children and young women to read and make handicrafts, dispensed Western-style education, and provided moral instruction. At this time, Kartini also published the paper "Teach the Javanese."Kartini's enthusiasm at educating Indonesian girls was short lived. On September 17, 1904, at the age of 25, she died while giving birth to her son. Kartini is buried near a mosque in Mantingan, south of Ultimately PublishedKartini's legacy is found in the many letters she wrote to friends in Holland. In 1911 a collection of her Dutch letters was published posthumously, first in Java and then in Holland as Door Duisternis tot Licht Gedachten Over en Voor Het Javanese Volk "From Darkness to Light Thoughts about and on Behalf of the Javanese People". The book was then translated into several languages, including French, Arabic, and Russian, and in 1920 was translated by Agnes Louis Symmers into English as Letters of a Javanese Princess. In 1922 Armijn Pane finally translated the book into the Javanese language under the title Habis Gelap Terbitlah Terang "After Darkness, Light Is Born", which he based on a verse found in both the Bible and the Qur'an in which God calls people out of the darkness and into the light. More recently, Kartini's granddaughter, Professor Haryati Soebadio, re-translated the letters and published them as Dari Gelap Menuju Cahaya, meaning "From Darkness into Light."Kartini's letters spurred her nation's enthusiasm for nationalism and garnered sympathy abroad for the plight of Javanese women. Syrian writer Aleyech Thouk translated From Darkness into Light into Arabic for use in her country, and in her native Java Kartini's writings were used by a group trying to gain support for the country's Ethical Policy movement, which had been losing popularity. Many of Kartini's admirers established a string of "Kartini schools" across the island of Java, the schools funded through private beliefs and letters inspired many women and effected actual change in her native Java. Taking their example, women from other islands in the archipelago, such as Sumatra, also were inspired to push for change in their regions. The 1945 Constitution establishing the Republic of Indonesia guaranteed women the same rights as men in the areas of education, voting rights, and economy. Today, women are welcome at all levels of education and have a broad choice of careers. Kartini's contributions to Indonesian society are remembered in her hometown of Jepara at the Museum Kartini di Jepara and in Rembang, where she spent her brief married life, at the Museum Kartini di Day Declared National HolidayIn Indonesia, April 21, Kartini's birthday, is a national holiday that recognizes her as a pioneer for women's rights and emancipation. During the holiday women and girls don traditional clothing to symbolize their unity and participate in costume contests, cook-offs, and flower arrangement competitions. Mothers are allowed the day off as husbands and fathers do the cooking and housework. Schools host lectures, parades are held, and the women's organization Dharma Wanita specially marks the more recent years criticism has arisen regarding the superficial observance of Kartini Day. Many now chose not to commemorate it, and it has increasingly been eliminated from school calendars. What saddens historians and activists is that Kartini has become a forgotten figure for the younger generation, who cannot relate to the achievements she wrought in a repressive society that is now almost forgotten. Historians have also debated the role Kartini herself played in promoting women's emancipation. Other than her letters, some have argued that she was a submissive daughter, feminine but not necessarily a Legacy in FilmThe film biography R. A. Kartini was produced to highlight her efforts to promote women's emancipation and education. Based on her published letters as well as memoirs written by friends, the film presents the two aspects of Kartini's life her brief public life which had minimal effect, and her letters which, after her death, had profound influence on women all over the world. The film, written and directed by Indonesian filmmaker Sjuman Djaya, recreates Kartini's family life, ambitions, and the historical context of life under Dutch colonialism. Kartini is also remembered through businesses inspired by her vision. Kartini International, based in Ontario, Canada, advocates for women's education and rights, and won the 2000 Canadian International Award for Gender Equality Achievement for its R. A., Letters from Kartini An Indonesian Feminist, 1900-1904, Monash Asia Institute, 1994.—, On Feminism and Nationalism Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903, Monash Asia Institute, Leslie, Indonesia, Walker & Co., Post, April 21, 2001; April 20, Ira, "Raden Ajeng Kartini—A Pioneer of Women's Education in Indonesia," University of New England Web site, December 23, 2003.Discover Indonesia Online, December 23, 2003.Monash Asia Institute Web site, December 23, 2003.
Kaliini saya akan bagikan informasi mengenai Biodata RA Kartini. Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya.
Ilustrasi Raden Ajeng Kartini. Foto Putri Sarah Arifira/kumparanRaden Ajeng Kartini dikenal sebagai sosok yang gigih memperjuangkan hak perempuan. Beliau berhasil menegakkan emansipasi wanita dan menciptakan persamaan gender di masa ini dilakukan Kartini lantaran ia menilai keberadaan perempuan tidak lagi dihargai. Perempuan hanya diperbolehkan mengurus pekerjaan rumah, dapur, dan anak tanpa mengenyam pendidikan yang perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama seperti laki-laki. Berdasarkan hal itu, Kartini pun bertekad untuk mengangkat derajat jasanya ini, kisah perjuangan Kartini banyak diabadikan dalam buku-buku sejarah. Untuk mengetahui informasi penting tentang Raden Ajeng Kartini, simak biografi beliau selengkapnya. Biografi Raden Ajeng KartiniRaden Ajeng Kartini Djojo Adiningrat atau yang lebih dikenal dengan Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Beliau merupakan putri dari Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Raden Ajeng Kartini. Dok Wikimedia Kartini terlahir dari seorang Ibu yang berasal dari golongan biasa. Akan tetapi, eyangnya yang bernama Pangeran Ario Condronegoro IV merupakan sosok yang amat dari buku Kartini Sebuah Biografi Rujukan Figur Pemimpin Teladan karya Myrtha Soeroto, Condronegoro IV dikenal sebagai pejabat yang memiliki daya intelektual tinggi. Ia memiliki pandangan yang luas dan kritis serta menunjukkan banyak Condronegoro IV ini kemudian diwariskan kepada anak cucunya. Hingga akhirnya, Kartini tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berpikiran keturunan Bangsawan, Kartini mengeyam pendidikan di ELS Europes Lagere School. Karena tradisi yang ada, beliau hanya boleh bersekolah hingga umur 12 ini mengharuskan anak perempuan berdiam diri di dalam rumah dan menunggu pinangan laki-laki. Karena dinilai tidak adil, Kartini pun bertekad untuk Raden Ajeng Kartini. Dok Wikimedia CommonsBeliau mulai belajar bahasa Belanda dan baca tulis dari surat kabar, majalah, serta buku-buku. Tak hanya itu, beliau juga membaca karya berbahasa Belanda yang membuat pengetahuannya semakin skripsi berjudul Sejarah Perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam Kebangkitan Pendidikan Perempuan di Jawa oleh Faiqotul Himmah 2020, pada 12 November 1903, Kartini dipersunting oleh Bupati Rembang, M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Beruntung, suaminya mendukung keinginan ia mengizinkan Kartini membangun sekolah perempuan di pintu timur gerbang perkantoran Rembang. Ia juga mendukung segala bentuk perjuangan Kartini dalam memperjuangkan hak pun menyampaikan pemikirannya melalui tulisan yang dimuat oleh majalah perempuan Belanda, De Hoandsche Leile. Beliau juga mengirimkan surat kepada teman-temannya di Belanda, salah satunya Rosa cerita, Kartini meninggal dunia setelah melahirkan anaknya, RM Soesalit Djojoadhiningrat. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Kabupaten Raden Ajeng Kartini. Dok Wikimedia CommonsSetelah meninggal, surat yang dikirim Kartini kepada teman-temannya dikumpulkan oleh Jacques Henrij Abendanon, Menteri Kebudayaan Agama dan Kerajinan Hindia Belanda. Kumpulan suratnya dibukukan dalam karya yang berjudul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan menuju Kartini membuahkan hasil, surat-suratnya telah mengubah pandangan Belanda terhadap perempuan Jawa. Beliau dikenal sebagai tokoh inspirasi di jasa-jasanya, pada 2 Mei 1964, Kartini diberikan gelar sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno. Tanggal lahirnya, yakni 21 April, ditetapkan sebagai Hari Kartini untuk mengingat kembali jasa-jasa tanggal lahir Kartini?Siapakah suami Kartini?Di mana sekolah Kartini?
ywdFnv.
  • ruofx7l7au.pages.dev/102
  • ruofx7l7au.pages.dev/28
  • ruofx7l7au.pages.dev/139
  • ruofx7l7au.pages.dev/27
  • ruofx7l7au.pages.dev/3
  • ruofx7l7au.pages.dev/340
  • ruofx7l7au.pages.dev/170
  • ruofx7l7au.pages.dev/167
  • ruofx7l7au.pages.dev/2
  • cerita raden ajeng kartini aksara jawa